Assalamualaikum J
Hallo guys! What’s up duth?? Alhamdulillah, we can meet again on this time. I ‘m happy to
turn on my hobby again, writting on my beloved blog. I was so sorry to not post
on my blog anymore for more than 6 months L . And now.. I’ll present about a trilogy short
story (Trilogy Cerpen) hehe. I think
that is not only for novel, but also for shor story like I’ll prensent to you
guys! Before we start, let me introduce what I’ll show you. The story is about
a real The main character in this story
is a girl names Suci Nur Utami. What
happen to her?? Well, Let’s begin! J
In
Idonesian version:
“Jangan besar kepala dulu kamu! Ini tidak bisa dikatakan keunggulan!
Bedanya hanya tipis sekali ! Yaa.. siapa tahu Lara punya simpanan prestasi ! Coba
prestasimu apa?? Kamu punya prestasi??? ”, sontak kata-kata yang keluar dari
mulut manis itu mengguncangkan hatiku.
Teman-temanku yang sedang duduk di lantai bersamaku, menatap sosok
pahlawan tanpa tanda jasa yang tengah duduk di atas singgahsana yang megah bak Sang Ratu itu pun turut terhenyu.
Betapa tidak, kata-katanya itu seolah-olah mengejekku, menghinaku,
meremehkanku, dan menganggap bahwa aku bukan apa-apa. “Ehm.. prestasi saya ngga
begitu banyak Bu. Saya pernah menjuarai lomba smart brainware competition pas
kelas 2, itu di UIE Bu. Trus lomba-lomba askul pmr juga.”, jawabku sambil
tersenyum di bibir dan menahan air mataku jangan sampai keluar. “Alah! Itu sebesar apa lombanya? Se-UIE
itu aja kan? Atau Cuma se-kota? Coba
Lara, kamu punya prestasi apa nak? “, suaranya melemah saat bertanya kepada
Lara, siswi yang juga ingin mengambil jurusan pendidikan dokter di Universitas
yang sama dengan ku. Ia sepertinya memang ingin sekali kuliah di jurusan itu di
universitas tersebut. Kakaknya, yang lebih dulu tamat daripada nya 1 tahun yang
lalu itu juga ingin mengambil jurusan yang sama. Namun saingan yang dihadapinya
saat itu sangat berat, sehingga ia memutuskan untuk mengambil jurusan yang
berada sedikit di bawahnya, yaitu pendidikan dokter gigi. Sejak kelas 2 SMA,
sepertinya Lara terobsesi ingin menjadi seorang dokter. Saat baru memasuki masa
kelas 3 SMA semester 2 pun ia sering menanyakan kepadaku, tantang jurusan apa
yang hendak ku ambi saat mengisi data jalur undangan nanti. Namun aku hanya
menjawab belum tau kepadanya, karena aku belum siap memutuskan jurusan apa yang
hendak ku pilih nantinya. Ia berlaku seperti itu karena merasa bahwa aku adalah
saingannya. Padahal aku tidak pernah merasa begitu sedikit pun.
“Aku pernah juara lomba,Bu. Tapi di bidang olahraga Bu. Itu juga pas masih
SD. Lombanya itu tenis, dapet juara 3”, dengan malu-malu dan suaranya yang
cempreng Lara menjawab pertanyaan Sang
Ratu. “Oh tidak masalah, yang penting itu lombanya tingkat Nasional kan?”,
tanya balik Sang Ratu dengan bangga
dan menyombonggkannya di hadapanku. “ehm..bukan Bu. Itu Cuma se-provinsi.”,
dengan tidak enak hati Lara menjawab. “Se-provinsi? Tidak masalah, Lara.”, sambil
tersenyum Sang Ratu itu. “Nah, dia
se-provinsi, sedangkan kamu apa? Cuma se-kota? Di sini saja sudah terlihat,
kamu kalah saingan dengan Lara meskipun kamu peringkat 1 umum di sekolah ini.”,
sambil tersengir kuda menghadapku.
Aku hanya dapat tersenyum saat itu. Aku mencoba tuk menahan rasa sakitku. Aku
mencoba tuk menahan bendungan air mata yang hampir jatuh ke pipiku. Aku mencoba
tuk kuat dan sabar sambil tersenyum. Teman sekelasku, Rini yang duduk di
sebelahku membisikkan kata-kata yang aku berikan kepadanyasebelum kami memasuki
ruangan BP itu. “Than mental, harus kuat!” Kata-kata itulah yang membuatku terus
mencoba tersenyum meskipun hati ku tengah tergores. Terlebih lagi Lisa, teman
masa kecilku yang duduk tepat di sebelah kanan ku ini ikut memberikan semangat
di saat aku tertunduk sejenak tak tahan menatap mata Sang Ratu yang memandangku dengan tajam itu. Sambil menepuk bahuku
dan berkata, “Semangat Ci, kamu pasti bisa! Jangan nyerah!”, kata-kata Lisa
membuatku kembali tersenyum dan langsung menggenggam tangannya. “Makasih Sa,
bantu doain ya”, ujarku sambil menahan air mata. “Iya Ci. Pokoknya tetep
semangat!” dengan senyum yang tulus dari dalam hati. Sepertinya Lisa, Rini, dan
teman-temanku yang juga sedang menunggu di ruang BP ini ikut merasakan
bagaimana perasaanku saat aku dihina dan diremehkanoleh Sang Ratu. Mereka tampaknya
ikut mengasihani ku diperlakukan seperti itu, namun apa daya mereka hanya dpaat
terdiam.
Emosi Sang Ratu menguak sesaat
setelah ia menanyakan kepada kami, siapa saja yang akan mengikuti program Bidik Misi, beasiswa ke perguruan tinggi
bagi yang tidak mampu secara ekonomi. Aku pun mengangkat tangan ku seraya
tersenyum menghadapnya. Tiba-tiba matanya terbelalak menatapku dan sontak
melontarkan pertanyaan yang cukup melukai hatiku untuk yang ke sekian kalinya
dalam detik itu. “Kau ingin ikut Bidik Misi? Hah?” Suaranya menggelegar di
telingaku. “Iya, Bu. Saya ingin ambil Bidik
Misi.”, lagi-lagi tersenyum.
Suasana pun menegang. Jantungku berdebar-debar. Tanganku menjadi dingin
dan keringat mulai bercucuran. Namun, I’m still smiling. “Kau mau ambil jurusan
Dokter tapi kau ingin ikut Bidik Misi ?
Kau tidak mampu bayar uang kuliah ya ternyata? Mana mungkin kuliah Dokter bisa
dibiayai full tanpa bayar sedikit pun! Kuliah dokter itu beda. Kau tau tidak?”
aku merasa tak kuat lagi tuk berbicara. Hatiku menangis. Aku hanya dapat
menganggukkan kepalaku seraya tersenyum menatapnya. “Kalau seandainya kau
diterima kuliah, tetpai kau tidak lolos program bidik misi, lalu biayanya dari
mana? Siapa yang akan bayar uang kuliahmu? Kamu tidak sanggup kan?”
Kata-kata itu langsung mengingatkanku pada gambaran ayah, ibu, dan
adik-adik. Aku memang anak dari seorang ayah yang bekerja sebagai buruh, dan
ibuku hanyalah sosok manusia yang sangat mulia bagiku, yang mendidik dan
mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak kecil yang berada di sekitar
rumahku di sebuah mushollah. Ibuku bekerja tanpa pamrih, membantu anak-anak
kecil yang ingin belajar mengaji. Aku sangat kagum padanya.dan aku mempunyai
empat orang adik. Yang tertua masih kelas dua smp, kemudian sartu smp, dan yang
terakhir masih berumur dua tahun. Aku langsung
terbayang wajah-wajah mereka. Aku tak rela melihat orang tua dan adik-adikku
merasa susah dikarenakan aku, tilang punggung keluarga tak sukses menggapai
cita-citaku tuk membahagiakan mereka. Selama aku bersekolah, aku telah berusaha
tuk menjadi yang terbaik dan membuat bangga orang tuaku. Hal itu terbukti
dengan aku dapat meraih predikat ranking satu mulai dari kelas satu sampai
dengan kelas enam SD. Dan aku mendapat juara umum saat itu. Terlebih lagi, saat
SMP. Aku menyabet juara satu umum tiga kali berturut-turut. Lalu saat ini, aku
mempertahankan peringkatku sejak kelas satu SMA hingga sekarang. Piala dan
piagamku juga cukup banyak, dan sudah dapat menutupi lantai kamarku jika di
jabarkan. Meskipun begitu, banyak orang yang tak mengenalku. Banyak orang yang
tak tahu prestasiku karena aku tak pernah merasa diriku lebih dari yang lain. Aku
tak pernah merasa diriku pintar. Dan aku pun tak pernah menunjukkan dan
memamerkan semua prestasi yang ku raih di hadapan orang banyak, teman-temanku
seklaipun. Aku terkadang heran juga melihat orang yang dengan begitu sombongnya
mempertontonkan segala sesuatu yang dianggapnya waw ke orang lain.
Setelah semua pekerjaan selesai di ruangan itu, aku kembali ke kelas. Dan teman-temanku
menyambut kedatanganku dari depan pintu kelas. Mereka langsung memelukku dan
memberikan semangat kepadaku. Akupun terharu. Betapa banyak orang yang
menyayangiku.
(to be continue)
Woooowww
ReplyDelete