Friday 28 February 2014

Trilogy Short Story- I will be what I will be!

Assalamualaikum J
Hallo guys! What’s up duth?? Alhamdulillah, we can meet again on this time. I ‘m happy to turn on my hobby again, writting on my beloved blog. I was so sorry to not post on my blog anymore for more than 6 months L .  And now.. I’ll present about a trilogy short story (Trilogy Cerpen) hehe. I think that is not only for novel, but also for shor story like I’ll prensent to you guys! Before we start, let me introduce what I’ll show you. The story is about a real  The main character in this story is a girl names Suci Nur Utami. What happen to her?? Well, Let’s begin! J


In Idonesian version:



“Jangan besar kepala dulu kamu! Ini tidak bisa dikatakan keunggulan! Bedanya hanya tipis sekali ! Yaa.. siapa tahu Lara punya simpanan prestasi ! Coba prestasimu apa?? Kamu punya prestasi??? ”, sontak kata-kata yang keluar dari mulut manis itu mengguncangkan hatiku.  Teman-temanku yang sedang duduk di lantai bersamaku, menatap sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang tengah duduk di atas singgahsana yang megah bak Sang Ratu itu pun turut terhenyu.



Betapa tidak, kata-katanya itu seolah-olah mengejekku, menghinaku, meremehkanku, dan menganggap bahwa aku bukan apa-apa. “Ehm.. prestasi saya ngga begitu banyak Bu. Saya pernah menjuarai lomba smart brainware competition pas kelas 2, itu di UIE Bu. Trus lomba-lomba askul pmr juga.”, jawabku sambil tersenyum di bibir dan menahan air mataku jangan sampai keluar. “Alah! Itu sebesar apa lombanya? Se-UIE itu aja kan? Atau Cuma se-kota?  Coba Lara, kamu punya prestasi apa nak? “, suaranya melemah saat bertanya kepada Lara, siswi yang juga ingin mengambil jurusan pendidikan dokter di Universitas yang sama dengan ku. Ia sepertinya memang ingin sekali kuliah di jurusan itu di universitas tersebut. Kakaknya, yang lebih dulu tamat daripada nya 1 tahun yang lalu itu juga ingin mengambil jurusan yang sama. Namun saingan yang dihadapinya saat itu sangat berat, sehingga ia memutuskan untuk mengambil jurusan yang berada sedikit di bawahnya, yaitu pendidikan dokter gigi. Sejak kelas 2 SMA, sepertinya Lara terobsesi ingin menjadi seorang dokter. Saat baru memasuki masa kelas 3 SMA semester 2 pun ia sering menanyakan kepadaku, tantang jurusan apa yang hendak ku ambi saat mengisi data jalur undangan nanti. Namun aku hanya menjawab belum tau kepadanya, karena aku belum siap memutuskan jurusan apa yang hendak ku pilih nantinya. Ia berlaku seperti itu karena merasa bahwa aku adalah saingannya. Padahal aku tidak pernah merasa begitu sedikit pun.


“Aku pernah juara lomba,Bu. Tapi di bidang olahraga Bu. Itu juga pas masih SD. Lombanya itu tenis, dapet juara 3”, dengan malu-malu dan suaranya yang cempreng Lara menjawab pertanyaan Sang Ratu. “Oh tidak masalah, yang penting itu lombanya tingkat Nasional kan?”, tanya balik Sang Ratu dengan bangga dan menyombonggkannya di hadapanku. “ehm..bukan Bu. Itu Cuma se-provinsi.”, dengan tidak enak hati Lara menjawab. “Se-provinsi? Tidak masalah, Lara.”, sambil tersenyum Sang Ratu itu. “Nah, dia se-provinsi, sedangkan kamu apa? Cuma se-kota? Di sini saja sudah terlihat, kamu kalah saingan dengan Lara meskipun kamu peringkat 1 umum di sekolah ini.”, sambil tersengir kuda menghadapku.


Aku hanya dapat tersenyum saat itu. Aku mencoba tuk menahan rasa sakitku. Aku mencoba tuk menahan bendungan air mata yang hampir jatuh ke pipiku. Aku mencoba tuk kuat dan sabar sambil tersenyum. Teman sekelasku, Rini yang duduk di sebelahku membisikkan kata-kata yang aku berikan kepadanyasebelum kami memasuki ruangan BP itu. “Than mental, harus kuat!” Kata-kata itulah yang membuatku terus mencoba tersenyum meskipun hati ku tengah tergores. Terlebih lagi Lisa, teman masa kecilku yang duduk tepat di sebelah kanan ku ini ikut memberikan semangat di saat aku tertunduk sejenak tak tahan menatap mata Sang Ratu yang memandangku dengan tajam itu. Sambil menepuk bahuku dan berkata, “Semangat Ci, kamu pasti bisa! Jangan nyerah!”, kata-kata Lisa membuatku kembali tersenyum dan langsung menggenggam tangannya. “Makasih Sa, bantu doain ya”, ujarku sambil menahan air mata. “Iya Ci. Pokoknya tetep semangat!” dengan senyum yang tulus dari dalam hati. Sepertinya Lisa, Rini, dan teman-temanku yang juga sedang menunggu di ruang BP ini ikut merasakan bagaimana perasaanku saat aku dihina dan diremehkanoleh Sang Ratu. Mereka tampaknya ikut mengasihani ku diperlakukan seperti itu, namun apa daya mereka hanya dpaat terdiam.


Emosi Sang Ratu menguak sesaat setelah ia menanyakan kepada kami, siapa saja yang akan mengikuti program Bidik Misi, beasiswa ke perguruan tinggi bagi yang tidak mampu secara ekonomi. Aku pun mengangkat tangan ku seraya tersenyum menghadapnya. Tiba-tiba matanya terbelalak menatapku dan sontak melontarkan pertanyaan yang cukup melukai hatiku untuk yang ke sekian kalinya dalam detik itu. “Kau ingin ikut Bidik Misi? Hah?” Suaranya menggelegar di telingaku. “Iya, Bu. Saya ingin ambil Bidik Misi.”, lagi-lagi tersenyum.


Suasana pun menegang. Jantungku berdebar-debar. Tanganku menjadi dingin dan keringat mulai bercucuran. Namun, I’m still smiling. “Kau mau ambil jurusan Dokter tapi kau ingin ikut Bidik Misi ? Kau tidak mampu bayar uang kuliah ya ternyata? Mana mungkin kuliah Dokter bisa dibiayai full tanpa bayar sedikit pun! Kuliah dokter itu beda. Kau tau tidak?” aku merasa tak kuat lagi tuk berbicara. Hatiku menangis. Aku hanya dapat menganggukkan kepalaku seraya tersenyum menatapnya. “Kalau seandainya kau diterima kuliah, tetpai kau tidak lolos program bidik misi, lalu biayanya dari mana? Siapa yang akan bayar uang kuliahmu? Kamu tidak sanggup kan?”


Kata-kata itu langsung mengingatkanku pada gambaran ayah, ibu, dan adik-adik. Aku memang anak dari seorang ayah yang bekerja sebagai buruh, dan ibuku hanyalah sosok manusia yang sangat mulia bagiku, yang mendidik dan mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak kecil yang berada di sekitar rumahku di sebuah mushollah. Ibuku bekerja tanpa pamrih, membantu anak-anak kecil yang ingin belajar mengaji. Aku sangat kagum padanya.dan aku mempunyai empat orang adik. Yang tertua masih kelas dua smp, kemudian sartu smp, dan yang terakhir masih berumur dua tahun.  Aku langsung terbayang wajah-wajah mereka. Aku tak rela melihat orang tua dan adik-adikku merasa susah dikarenakan aku, tilang punggung keluarga tak sukses menggapai cita-citaku tuk membahagiakan mereka. Selama aku bersekolah, aku telah berusaha tuk menjadi yang terbaik dan membuat bangga orang tuaku. Hal itu terbukti dengan aku dapat meraih predikat ranking satu mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam SD. Dan aku mendapat juara umum saat itu. Terlebih lagi, saat SMP. Aku menyabet juara satu umum tiga kali berturut-turut. Lalu saat ini, aku mempertahankan peringkatku sejak kelas satu SMA hingga sekarang. Piala dan piagamku juga cukup banyak, dan sudah dapat menutupi lantai kamarku jika di jabarkan. Meskipun begitu, banyak orang yang tak mengenalku. Banyak orang yang tak tahu prestasiku karena aku tak pernah merasa diriku lebih dari yang lain. Aku tak pernah merasa diriku pintar. Dan aku pun tak pernah menunjukkan dan memamerkan semua prestasi yang ku raih di hadapan orang banyak, teman-temanku seklaipun. Aku terkadang heran juga melihat orang yang dengan begitu sombongnya mempertontonkan segala sesuatu yang dianggapnya waw ke orang lain.


Setelah semua pekerjaan selesai di ruangan itu, aku kembali ke kelas. Dan teman-temanku menyambut kedatanganku dari depan pintu kelas. Mereka langsung memelukku dan memberikan semangat kepadaku. Akupun terharu. Betapa banyak orang yang menyayangiku.


(to be continue)